Basa-basi Tentang Semiotika

Latifah Fawwaz
3 min readMar 23, 2017

--

Lulus nanti, saya mau punya kontrakan. Lalu bepergian kemanapun yang saya suka. Membawa catatan. Menulis apa yang saya ingin. Tanpa beban. Tak peduli pasar.

Kalimat tersebut adalah sisa-sisa optimisme yang masih ada di dalam diri saya. Sedangkan lainnya, hanya berisi ketidakpercayaan yang bercumbu mesra dengan keluhan. Ah satu lagi, kritikan. Ya, saya sangat suka mengkritik. Apa saja. Selama saya tidak suka. Bukan hanya tidak suka pada situasinya, bahkan secara personal sekalipun dia benar adanya, saya tetap akan kritik. Dan bagaimana saya bisa percaya ada kebenaran lain setelah belajar wacana dengan profesor yang selalu tepat waktu itu?

Biasanya, saya paling tidak suka deretan dosen yang kerap menjadikan dirinya sebagai role model yang harus kami tiru. Berkali-kali memutar kata dengan makna lebih halus dari menyebut diri sebagai ‘avant garde’. Atau sekalipun dosen yang ‘tengil’ dan berulang meyakinkan kami kalau memang wajar ia membanggakan dirinya. Lantas kalau bukan sendiri, siapa lagi?

Namun, bagi saya dan kerak ideologis usang ini menyebutkan, kalau memang dirimu berguna bagi orang lain, maka lebih efektif bila orang lain yang menyebutnya begitu. Kamu? Cukup diam saja. Lanjutkan kegunaan dirimu.

Aih, belakangan saya baru sadar, bisa jadi saya bilang begitu karena saya memang tidak pandai menjadi public speaker.

Nah untuk mempelajari kepercayaan diri, saya ingin menggunakan pengalaman pribadi sebagai upaya penerapan ilmu yang sedang saya pelajari. Lihatkan keusangan ideologi itu.

Saya ingin mencoba berpikir semiotik, begitu istilah dosen saya. Yang ternyata semiotik itu berlawanan dengan fenomena cinta pada pandangan pertama. Ya, apa yang kamu lihat, bukan lantas itu realitasnya.

Berpikir semiotik itu rumit. Saking rumitnya, saya sampai harus menekan-nekan ubun-ubun kepala. Niatnya supaya perkataan dosen itu cepat masuk dan terolah. Tentu saja tidak berhasil.

Saya yang kelak berharap bisa menghidupi diri dari kontrakan, agar bisa menulis dengan bebas tanpa tuntutan pasar, bisa jadi menunjukan kalau saya seorang independen. Akan tetapi yang dibongkar oleh semiotik bukan sesederhana itu. Lagipula niat saya pun tak seluhur itu. (Inilah kelemahan menjadikan diri sendiri sebagai objek, sulit memisahkan diri. Pantas saja ada larangan wartawan menjadikan dirinya sebagai narasumber sekalipun ia adalah korban/pelaku.)

Mungkin pertama yang akan saya bongkar adalah mengapa saya memilih kontrakan. Dari sekian banyak investasi, bisnis kontrakan tidaklah mudah. Apakah karena saya orang Betawi yang identik dengan banyak tanah? Atau mungkin saya berada dalam lingkungan di mana para pebisnis kontrakan menuai kesuksesan?

Kedua, tentang menulis bebas. Apakah saya yang terlanjur skeptis dengan penerbitan? Ataukah saya yang memang tidak memiliki kualifikasi yang bisa diterima di pasar?

Bisa saja saya sok berkata ingin menjadi penulis bebas agar mendapat citraan sebagai si anak betawi Independen. Dengan begitu, karyanya akan disebut luhur nan suci dari kepentingan kapitalistik. Sejelek apapun, orang-orang akan memujanya dengan beragam kalimat surga.

Kalau di kelas budaya, hal semacam ini mungkin bisa disebut representasi. Tentang bagaimana seseorang ingin dikenal oleh masyarakatnya.

Sedangkan semiotika belajar mengenai penanda dan petanda. Kita bisa jadi secara sadar ingin menjadikan diri seperti figur A. Namun ada sebuah sistem penandaan yang tidak kita sadari memengaruhi pilihan kita tersebut.

Dan saya belum bertemu pada bagaimana kerja penanda dan petanda tersebut. Bagian ketidaksadaran yang memengaruhi saya sehingga saya memilih bercita-cita menjadi juragan kontrakan yang menulis manasuka.

Jadi sebenarnya tulisan ini belum (atau tidak akan) selesai. Karena kebetulan saja saya mendapat sunyi dan pasokan listrik serta internet memadai sehingga bisa digunakan untuk berbasa-basi.

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.