JANGAN MAIN-MAIN DENGAN CINTA

Latifah Fawwaz
4 min readFeb 23, 2018

--

Memang yang ditampilkan di layar adalah nelangsanya Kamal karena dipaksa menyudahi cintanya dengan Kalida. Tapi apa yang melanda Kamal merupakan gambaran kita tanpa cinta. Lesu, seolah tanpa nyawa, dan hanya tersisa siksa.

Saya mencari-cari film ini karena pengisi soundtracknya Letto. Sayangnya, film ini tidak bertahan lama, dan saya tidak kebagian di layar lebar. Sejak Letto keluar, saya sudah mendengarkan lagu-lagunya. Hingga ketika saya kuliah, saya mulai mengikuti Kenduri Cinta di TIM. Di sana pula pertemuan pertama saya dengan Noe secara langsung. Saat itu saya tertarik mendengarkan pendapatnya mengenai islam dan Indonesia.

Kemudian saya baru bisa menonton Bid’ah Cinta setahun setelahnya, tepatnya Kamis, 22 Februari 2018. Sebuah komunitas di Cikini ini bahkan menghadirkan sutradaranya, Nurman Hakim. Sebenarnya saya kurang suka mendiskusikan film bersama pembuatnya. Seperti merusak imajinasi yang saya miliki. Ternyata tidak buruk-buruk amat.

Kamal dan Kalida sudah lama berpacaran. Film sudah dibuka dengan konflik keduanya mengenai ‘aliran’ islam yang berbeda. Kamal saat itu sedang mengaji dengan Ustaz Jaiz, sepupu dari Ibunya. Ustaz Jaiz, sebagaimana pengetahuan saya yang sempit ini (dan mohon maaf apabila salah), merupakan golongan yang menegakkan islam kaffah. Menanggalkan segala amalan-amalan yang menurutnya tidak ada di zaman Nabi. Agar amannya, mari kita sebut islam Ustaz Jaiz.

Sedangkan Kalida merupakan anak seorang haji yang katakanlah aliran Nadhlatul Ulama. Seperti dalam poster filmnya, Kalida mengenakan selendang dan bajunya ‘nge-pas’ di badan. Kalida berteman akrab dengan Sandra, seorang transgender yang menyewa rumah petak abahnya. Pun Abahnya juga bersikap baik pada Sandra.

“Orang-orang di sini mulai pada berubah, jadi lebih soleh.” Begitu keluh Sandra kepada Abah. Kata-kata tersebut memang menggambarkan bagaimana kondisi kampung yang berada di ibu kota ini semenjak kedatangan ustaz Jaiz.

Berkali-kali Kamal mengatakan bid’ah kepada Kalida. Saya sendiri masih sangat dangkal pengetahuannya tentang bid’ah. Kalau menurut Kamal, pembacaan maulid, tahlil, berziarah kubur, itu semua bid’ah.

Bid’ah menjadi kata yang familiar buat saya ketika masih aktif (ikut-ikutan) Rohis semasa sekolah. Saat itu, saya sama semangatnya dengan Kamal, sibuk menbid’ahkan apa yang dilakukan orang tua saya. Bedanya, saya hanya sibuk bilang bid’ah dalam hati. Tapi kemudian abang saya balik bertanya tentang apa itu bid’ah. Saya menjawab sama polosnya dengan Kamal. “Ya kalo gitu elu juga bid’ah. Kan elu gak ada di zaman Nabi!” Setelah itu saya berhenti memikirkan bid’ah (malah bukannya belajar).

Rasa-rasanya saya bisa memahami mengapa diberi judul Bid’ah Cinta. Hal ini saya dapatkan dalam bagian Kamal yang sedang bertengkar dengan ayahnya. Ayahnya kerap kali bilang ke Kamal untuk menyudahi hubungan dengan Kalida. Kayak nggak ada perempuan cantik lainnya. Dan ternyata kata-kata tersebut sangat menyakiti Kamal.

“Cuma karena cinta? Cinta bukan cuma. Cinta itu besar pengaruhnya buat Kamal.” Kurang lebih begitu yang dikatakan Kamal pada ayahnya. Kemudian saluran otak saya langsung menjuru pada Noe. Saya pernah mendengar pada Kenduri Cinta kesekian, bahwa ada yang kerap dilupakan oleh umat beragama: cinta.

Memang yang ditampilkan di layar adalah nelangsanya Kamal karena dipaksa menyudahi cintanya dengan Kalida. Tapi apa yang melanda Kamal merupakan gambaran kita tanpa cinta. Lesu, seolah tanpa nyawa, dan hanya tersisa siksa.

Cinta dalam hal ini tentu bersifat universal di mana Kamal dan Kalida hanya sebagai simbolnya. Perpecahan dan peperangan ini terus saja terjadi karena kita kerap memupuk benci. Tak sama, benci. Mendebat, benci. Diam saja, benci. Apakah rasa cinta yang Tuhan berikan kepada kita saking tidak terasa sehingga ‘rahman’nya tak menghaluskan rasa?

Keberpihakan

Salah seorang penonton menuduh Nurman memojokan kelompok islam Ustaz Jaiz. Saya membenarkan itu. Seperti dua rekan Ustaz Jaiz yang tanpa diketahuinya ternyata komplotan teroris. Kelompok mereka yang terlalu hitam putih dalam memandang sesuatu. Serta tak segan-segan melakukan kekerasan pada mereka yang dianggap merusak agama.

Akan tetapi melalui sosok Ustaz Jaiz, saya merasa ada ruang yang diberikan oleh Nurman. Tentang Ustaz Jaiz yang mau mempekerjakan dua pemabuk sehingga keduanya meninggalkan khamr. Ustaz Jaiz juga diperlihatkan sangat ambisius memajukan pendidikan melalui pelebaran sekolah yang sedang diusahakannya. Serta adegan Ustaz Jaiz yang mengutuk pemboman di Sarinah.

Kritik terhadap islam Abah juga tak luput digambarkan. Seperti saat pengajian rutin hanya ada Hasan yang datang. Kemudian saat takmir masjid diambil alih oleh kelompok Ustaz Jaiz, para pemuda ini berkumpul di rumah Abah dan merundingkannya. Kemudian Abah menyindir para pemuda tersebut yang jarang hadir ke masjid.

Mulanya saya mempermasalahkan Nurman yang mengakhiri film dengan berubahnya Kamal menjadi ‘penghapal maulid’ dan orang tua Kamal yang ‘menggoyangkan’ kepala saat mendengar musik zapin. Saya kecewa karena berusaha tidak hitam putih itu menjadi kontradiktif.

Hingga saya pun bisa berdamai dengan penjelasan dari Nurman bahwa ia bagian dari islam Abah. Ya, bahwa karya adalah representasi dari pembuat karya.

Intermezzo

Ada hal yang menarik dari balik layar Bid’ah Cinta. Film ini sebenarnya sudah produksi sebelum pilkada sialan. Nurman bilang ia mengundang Ahok dan Anies untuk menonton filmnya. Namun pihak Anies mengundur waktunya sehari setelah Ahok. Setelah Ahok menonton dan disorot oleh media, pihak Anies lantas membatalkan rencana menonton.

Hingga kemudian film ini dikampanyekan liberalisme dan tidak patut ditonton. Ah, politik bangsat.

(sebuah tulisan balapan dengan Muhtar)

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.