Kisah Klaten: Mencumbu Malam

Latifah Fawwaz
4 min readAug 7, 2016

--

Dokumentasi Pribadi

Dan lagi-lagi saya harus tergiur oleh ajakan mereka untuk keluar. Saya melalaikan janji kepada ibu di rumah. Untuk tidak memperlakukan sama antara kota dan desa. Tapi saya terlalu lemah terhadap igauan malam.

Dia tersenyum mendapati saya. Menghembuskan rokok lokal yang kadar nikotinnya sangat tinggi. Sesekali, jelasnya. Saya tak menanggapi apa-apa.

Saya bukan perokok. Atau lebih tepatnya belum. Tapi saya sudah seperti teman lama dengan rokok. Sesekali ingin alergi terhadap asapnya, alih-alih malah saya merindukan perokok terus berada di samping saya. Entah ini merupakan candu juga atau bukan.

Namanya Putera. Sebelahnya Acil. Dua pria yang baru saya kenal ketika di kampus. Saya dan Putera satu kelas, tidak dengan Acil. Tapi beberapa bulan belakangan ini kami cukup sering saling membagi pendapat, hingga merencanakan pengasingan diri seperti saat ini.

Kami sedang berada 500 kilometer lebih jaraknya dari kota yang kami tinggali. Mengisi liburan. Begitu harap kami. Meski kami juga was-was karena sebagai manusia yang tidak memproduksi uang, tentu biaya menjadi pikiran. Padahal kami ingin lama-lama di sini, sebagaimana lamanya liburan kami. Namun apa daya.

Kemudian pergadangan ini digenapi oleh kehadiran Ibnu. Sejauh saya pernah melihat pola tidurnya, dia satu-satunya laki-laki yang selalu terjaga. Tidur hanya sebentar-sebentar. Saya rasa dia gelisah. Atau mungkin tidak.

Suara jangkrik, tokek, dan angin malam menjadi simfoni yang menentramkan. Kami mengirinya dengan saling bercerita. Apa saja.

Saya sedang mengingat-ingat, kapan pernah mencumbu malam bersama banyak teman laki-laki seperti ini. Sebenarnya sering, hanya saja pembicaraannya tak jauh-jauh dari curahan hati. Tentu saya menjadi pendengar sejati. Saya tak pernah benar-benar nyaman berbagi dengan laki-laki.

Mungkin itu namanya gengsi. Saya tidak suka ada laki-laki yang menganggap saya lemah. Dan bagi saya, curhat adalah kegiatan perontokan pertahanan diri. Maka bila bukan dengan yang saya anggap sahabat sejati, jangan harap mereka pernah benar-benar mengenal saya.

Malam, gelap, dan sepi. Perpaduan yang menarik untuk membicarakan keberadaan mereka. Ya, mereka yang tak bisa semua manusia melihatnya. Diantara kami, kecuali Putera. Setidaknya begitu pengakuan dia yang didukung oleh Acil dan Ibnu.

Membicarakan hantu (jin, atau apapun itu), dalam hidup saya memiliki intensitas yang amat rendah. Hampir-hampir saya selalu tertawa bila mendengar ada yang benar ketakutan oleh mereka. Bukan saya terlalu pemberani, tapi saya sedikit realistis untuk urusan itu. Saya hanya percaya atas apa-apa yang saya alami. Dan hantu bukan masuk dalam pengalaman saya.

Mendengarkan mereka sebenarnya membosankan. Tiga laki-laki, calon sastrawan, tapi mengagungkan keberadaan setan. Berlomba-lomba bercerita tentang hal-hal ganjil yang sebenarnya bila tidak dihubungkan dengan makhluk gaib terasa biasa saja. Datar.

Namun lama-lama saya menikmatinya juga. Apalagi kalau bukan karena saya melihat keseriusan di wajah mereka. Walau dalam hati tetap geli sendiri.

Berawal dari kisah Putera. Dia yang pernah diperlihatkan dengan sosok dirinya (yang lain) dalam perjalanan, ketika mengendarai motor membelah malam. Acil panik, dia yang dibonceng Putera kelabakan. Tiba-tiba saja Putera menangis. Putera menangis. Seorang Putera menangis.

Kata Putera, penampakan tersebut sangatlah membunuh mentalnya. Bagaimana tidak, kita diperlihatkan dengan sosok kita, namun lama kelamaan wajahnya seperti tertarik dan berubah menyeramkan.

Saya berharap Putera segera menyebutnya halusinasi. Tapi ternyata itu harapan semu. Berikutnya malah ada kisah lain.

Di rumahnya sendiri. Di Rooftop. Lokasi yang menjadi favorit. Putera juga pernah melihat sesosok perempuan. Padahal hari itu, tak ada satupun perempuan di antara dirinya dan teman-teman laki-laki lain.

“Kalau mereka lagi muncul, gue pasti mengambil posisi di pojok, ya atau minimal merapat ke tembok,” katanya. Wajahnya sama serius dengan ketika membahas pengaruh hegemoni dari kaum kapitalis. “Karena kalau gue di pojok, setidaknya gue mempersempit ruang gerak mereka. Minimal gue nggak kaget kalau mereka akan muncul dari belakang.”

Sampai di sana saya masih merasa Putera terlalu banyak mengonsumsi tontonan pemburu hantu.

Bila bisa diibaratkan pembagiannya, lapisan teratas otak saya benar-benar menertawakan cerita Putera, Acil dan Ibnu. Saya saja agak kecewa ternyata Ibnu mengaku punya pengalaman yang sama dengan mereka. Saya kira Ibnu masuk barisan saya.

Tapi lama-lama mendengarkan, tiba-tiba bulu di tangan saya meremang. Alih-alih ceria, saya yang duduk menghadap jalan, mulai menemukan halusinasi. Saya tidak menjamin loh apa yang saya ceritakan ini sebenarnya wujud makhluk gaib asli atau hanya sekadar representasi saya terhadap barang atas penggambaran Putera.

Di tengah persawahan itu. Ada pasang mata yang mengarah pada kami. Sesekali saya menunduk. Mengabaikan dengan ikut tertawa atas lelucon murahan Ibnu. Ya dia adalah makhluk paling garing di tongkrongan ini.

Tapi memang dasar manusia, sebagaimana yang digambarkan di film-film horor, sudah tahu berhantu, tapi penasaran mau lihat. Saya pun begitu. Sekali melihat ke arah yang sama. Tidak ada. Saya lega. Beralih pandangan lagi dengan Acil yang kini menceritakan kisah remot televisinya yang berpindah tempat sendiri. Ia yakin seratus persen bahwa pada awalnya remot tersebut ada di sebelah kiri, bukan kanan.

Secara refleks, saya melihat ke arah yang sama. Buru-buru saya menunduk lagi. Putera, Acil, dan Ibnu tidak ada yang menyadarinya. Sepasang mata tadi berada lebih dekat dari sebelumnya. Saya memilih tidak berbicara. Gengsi mengalahkan ketakutan saya. Saya ingin tetap dikenang sebagai perempuan yang menertawakan kisah horor.

Hingga akhirnya Ibnu mengaku kebelet buang air kecil. Acil juga. Ia turut mengajak saya yang sedari tadi menahan. Putera masih sok kuat dan berkata tidak apa-apa ditinggal sendirian di luar.

Tapi kemudian kami berempat malah masuk dan saling menunggu di depan toilet.

(Kisah Klaten, 26 Agustus 2016)

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.