Nenek Kentut

Latifah Fawwaz
4 min readDec 29, 2022

--

Badriah, 2022, Masjid Sunan Kalijaga, Demak.

Iman sedang menggoreng pisang saat Nenek melangkah tergopoh-gopoh dari kamar mandi menuju kamarnya. “Pelan-pelan aja, Nek…” ucap Iman.

Di kamar, Nenek bergegas memakai kain sarung dan mengikatnya di pinggang. Kemudian mengambil mukena bagian atas. Tiba-tiba, psssssst… suara kentut serupa ban kempes keluar.

“Ya Allah…” keluh Nenek.

Nenek berjalan cepat ke kamar mandi. Hampir saja menabrak Iman yang sedang membawa sepiring pisang goreng panas. “Loh???”

“Kentut!” sambar Nenek dengan ketus.

Iman geleng-geleng. Belakangan ini, intensitas kentut Nenek jadi jauh lebih sering. Padahal sebelumnya tidak sampai mengganggu aktivitas. Dokter puskesmas pun hanya bilang ini penyakit pencernaan yang lazim dialami oleh lansia.

“Enggak usah buru-buru banget, Nek. Baru juga azan…” ujar Iman sambil membawa pisang gorengnya ke meja di depan TV.

“Ya dengar azan tuh ya salat. Bukan malah goreng pisang…” sahut Nenek sambil kembali masuk ke kamar.

Iman tergelitik. Nenek memang cukup keras perihal ibadah. Meski begitu, Iman tidak pernah tersinggung dengan cara Nenek mengingatkannya. Sebab Iman melihat sendiri contoh yang diberikan oleh Nenek. Sehingga seringkali itu yang lebih menggerakannya.

“Allahuakbar!”

Terdengar Nenek mengucap takbir dengan Iman geram. Tak lama setelah itu, Nenek keluar sambil membawa sajadah, kain sarung, dan mukena.

“Mau kemana, Nek?” tanya Iman.

Nenek tidak menjawab. Ia menggelar sajadah tersebut di dapur yang dekat dengan kamar mandi. Tidak peduli ada bekas-bekas minyak menggoreng pisang.

Iman menghampiri saat Nenek kembali mengambil air wudu. “Salat di sini, Nek? Depan kompor?!”

Nenek berpikir, daripada harus berjalan ke kamar dan nantinya kentut lagi, mending menyingkat waktu dengan salat sedekat mungkin dari kamar mandi.

Nenek mulai solat lagi. Iman masih sedikit kaget dengan tingkah laku Nenek. Tapi siapa yang bisa menghentikannya?

Saat masih kentut normal, Nenek rajin salat berjamaah di musala. Tapi begitu sering kentut, Nenek jadi salat di rumah. Karena tempat wudu musala berada di luar. Ia jadi sering tertinggal jamaah.

Umur Nenek sudah 73 tahun. Itu yang tercatat resmi. Iman yakin umur Nenek bisa lebih dari itu. Karena banyak sesepuh daerah sini yang mengenal Nenek dan memanggilnya dengan Mbak atau Ibu.

Alih-alih menyalakan TV, Iman malah memperhatikan Nenek salat. Iman tersenyum saat Nenek menghela napas lega sudah menyelesaikan salat magribnya meski setelah salam pertama, suara kentut menggema. “Tuuuuuuuut….”

Iman akhirnya memodifikasi dapur agar Nenek bisa salat lebih nyaman. Letak kompor, panci, penggorengan, dan lainnya dipindah agar tidak menghadap kiblat. Bergeser sedemikian rupa, hingga menyisakan sedikit tempat untuk salat.

“Padahal Nenek enggak apa-apa salat di sini juga,” ucap Nenek. Ia memang tidak pernah mengucapkan terima kasih dengan kata terima kasih.

“Ya salat memang bisa di mana saja, Nek. Tapi kan tetap butuh kenyamanan,” sahut Iman sambil memaku tembok. “Gimana kalau nanti malaikat kepleset minyak? Enggak dicatat ibadah Nenek…” canda Iman.

Nenek menepuk pundak Iman. “Man, Man… Salat yang bikin kita nyaman. Mau di manapun tempatnya, yang penting khusyuk.”

Iman tersenyum sambil mengangguk.

Nenek sangat keras kepala. Sendinya yang sudah enggak manut itu hari demi hari makin sakit. Menyulitkan Nenek untuk salat berdiri. Sedangkan pencernaannya yang tak kunjung membaik, memaksanya untuk bergerak lebih gesit. Nenek pusing dan kesal dibuatnya.

“Pak Ustad kan bilang, kalau ada uzur, boleh salat duduk, Nek…” hibur Iman sambil ke kamar mandi untuk mengambil wudu.

Nenek masih tidak terima kalau fisiknya sudah melemah. “Cepat, Man. Nenek mau wudu lagi,” ujar Nenek.

Setelah wudu, Iman menunggu Nenek di depan kamar mandi. “Islam tidak memberatkan, Nek,” ucapnya.

“Ngobrolnya nanti, keburu jebol lagi pantat Nenek…”

Iman akhirnya mengalah dan ke kamar untuk salat. Sembari Iman salat rakaat demi rakaat, Nenek sudah 2 kali bolak-balik kamar mandi untuk wudu lagi karena batal oleh kentut.

Sampai Iman selesai salat, Nenek masih belum berhasil salat. “Nek…” Iman membawa sebuah bangku plastik dan menaruhnya di belakang sajadah Nenek.

Kedua mata Nenek berkaca-kaca. Setelah mengambil wudu, Nenek pun menuruti Iman untuk salat sambil duduk. Pilihan yang harus diambilnya sebab waktu salat subuh akan segera berakhir.

Usai itu, Iman bersiap-siap untuk ke sekolah. Sedangkan Nenek membeli nasi uduk di samping rumah mereka.

Sambil memakai seragam putih abu-abu, Iman menyantap nasi uduk. Nenek menemaninya sambil melamun.

“Kan yang terpenting niatnya, Nek…” kata Iman yang seolah paham dengan yang sedang dipikirkan oleh Nenek.

Nenek menoleh. “Tapi kan enggak boleh berhenti di niat, Man. Kita harus berusaha keras buat menunjukkan kesungguhan kita…” ucap Nenek pelan. “Ada kemudahan bukan berarti kita menggampangkan,” lanjut Nenek. “Nenek hanya berusaha…”

Seketika hening. Iman tak menjawab Nenek lagi. Nenek tak berkata apa-apa lagi. Hingga terdengar suara, broooooot… pelan tapi berat.

Tamat
Depok, 29 Desember 2023
Terinspirasi dari Neneknya sahabat saya, Alida Zulhanifah.
Terdorong oleh kebodohan pemkot Depok yang nafsu membangun masjid di SDN Pondok Cina.

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.