PEREMPUAN-PEREMPUAN KAWABATA

Latifah Fawwaz
3 min readFeb 20, 2018

--

“Bagaimana caranya kau mau membalas dendam kepadaku?” | “Aku tidak tahu. barangkali dengan cara jatuh cinta kepadamu.”

Pertemuan pertama saya dengan karya Yasunari Kawabata yaitu cerpen Gadis Penari dari Izu. Kisah tentang pemuda yang tertarik ikut dalam rombongan penari. Di tengah perjalanan, terdapat daerah yang melarang kehadiran rombongan tersebut. Alasannya tak lain karena sang penari mendapat stigma sebagai wanita penghibur.

Beauty and Sadness merupakan buku Kawabata kedua yang saya baca. Ketertarikan saya diawali karena judulnya mengingatkan saya pada Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan. Terbesit dalam pikiran, ada apa para lelaki ini membicarakan tentang cantik? Dan mengapa keduanya menyandingkan kecantikan dengan kesedihan? Saya tergelitik membaca bagaimana penulis laki-laki menggunakan tokoh perempuan dalam kisahnya. Terdengar seksis sih.

Benar saja, yang saya soroti dalam novel Beauty and Sadness memang tokoh-tokoh perempuannya. Novel ini dibuka dengan kisah Oki, sang penulis jatuh hati pada Otoko, gadis yang berusia setengah darinya. Ikatan pernikahan Oki dengan Fumiko tak menjadi penghalang hubungan keduanya. Otoko bahkan sempat memiliki anak meski harus keguguran. Oki dan Otoko kemudian berpisah puluhan tahun lamanya setelah Ibu membawa pergi Otoko ke Kyoto. Hingga pada suatu malam tahun baru, Oki datang ke Kyoto guna bertemu dengan Otoko. Tapi harapan Oki pudar ketika Otoko membawa serta Keiko bersamanya.

Tokoh-tokoh perempuan salam karya Kawabata ini tidak hadir sebagai pemanis semata. Semuanya memiliki ketangguhan yang tak bisa dianggap remeh sesuai dengan koridornya masing-masing.

Pertama adalah Fumiko, istri sah Oki. Meski ia mengetahui cerita yang dituliskan oleh Oki merupakan pengalamannya berselingkuh, Fumiko tetap membantu Oki mengetiknya. Kala itu kondisinya tengah hamil muda. Ia bersikukuh menjadikan dirinya mesin yang mampu mengetik kisah perempuan lain dalam kehidupan suaminya itu. Meski seringkali ia harus tersandung dan menangis sejadinya hingga menyebabkannya keguguran.

Fumiko dan Oki tak lantas bercerai. Tak lama setelah novel Oki keluar, Fumiko melahirkan Taichiro, putra pertama mereka. Dari sudut pandang Oki, ia menyebut Fumiko telah memaafkannya karena ternyata novel tersebut meledak di pasaran dan berakibat baik untuk perekonomian mereka.

Tapi mungkin bisa jadi kehadiran Taichiro merupakan alasan utamanya. Oki bisa saja dengan kemaskulinitasnya menganggap bahwa Fumiko tutup mata oleh harta. Sebagai orang yang telah dikhianati, tak mudah untuk memilih bertahan apapun alasannya. Tapi Fumiko bukan orang yang egois.

Perempuan kedua yaitu Ibu dari Otoko. Ia bersikeras melarang hubungan Otoko dengan Oki. Namun akhirnya memilih luluh tatkala Otoko mengalami gangguan mental pasca mengetahui anaknya mati dalam kandungan. Ia memohon kepada Oki untuk menikahi anaknya. Ibunya Otoko rela menggadaikan harga dirinya demi seorang anak yang amat dia cintai. Hanya saja saat itu Oki tak mampu memenuhinya.

Berikutnya ialah Otoko sendiri. Di usia belianya, ia telah memberikan segalanya pada Oki. Bahkan atas apa yang telah Oki lakukan padanya, ia tak lantas membenci. Satu-satunya yang menyiratkan pembalasan dendam Otoko terhadap Oki yaitu dengan membawa serta Keiko pada pertemuan mereka.

Mengapa demikian? Sebab Keiko ini mewakili kesempurnaan cantiknya wanita Jepang dan masih muda. Melalui Keiko, Otoko hendak mengejek Oki yang mudah jatuh cinta pada wanita muda.

Akan tetapi Keiko bukanlah tokoh figuran di sini. Kunci emosi dalam novel ini justru dihasilkan olehnya. Seorang pelukis muda ini justru memikul dendam sang guru terhadap keluarga Oki. Tapi belakangan saya baru menyadari, mungkin saja rasa dendam yang membara pada Keiko tak lebih karena ia cemburu Otoko masih menyimpan rasa pada Oki. Ya, Keiko memang benar-benar mencintai Otoko.

Rasa simpati saya yang sudah terkubur dalam untuk laki-laki brengsek macam Oki makin dibuat menghilang. Pria tua itu juga menyentuh Keiko sekalipun mengetahui bahwa Taichiro, anaknya memiliki ketertarikan pada perempuan itu pula.

Meski Kawabata mengakhiri novel setebal 248 halaman ini dengan tangisan Keiko, Keiko telah berhasil membalaskan dendamnya. Sekalipun rencananya nyaris sempurna andai saja Keiko tidak jatuh hati pada Taichiro. Tetap saja, bagi saya Keiko lah pemenangnya.

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.