SEBELUM SUBUH

Latifah Fawwaz
4 min readApr 3, 2018

--

Doc. absfreepic.com

Suara imam salat subuh berjamaah di musala masih terdengar, tapi Ibu sudah memaksaku untuk mendatangi rumah seseorang. Nama orang tersebut tidak asing bagiku, tapi aku tak benar-benar mengetahui di mana rumahnya. Ibu sampai menggunakan kedua tangan untuk membuat simulasi belokan gang. “Pokoknya harus ketemu. Cuma dia yang bisa bantu Ibu,” tegas Ibu.

Ku rasakan otakku lambat merespon titah Ibu. Suasana sepagi ini memang akrab denganku, tapi untuk mulai bercumbu dengan kasur setelah lelah begadang. Bukan malah keluar rumah.

Menurut arahan Ibu, aku bisa melewati sela antara rumah tembok kuning dengan majelis. Aku hampir tidak pernah lewat sini lagi. Padahal dulu, kalau aku ingin pura-pura berangkat ngaji, aku pasti bersembunyi di jalan kecil ini. Guru ngajiku dulu sangat galak dan tak segan merotan mereka yang salah baca tajwid.

Tapi seingatku, jalannya tidak sesempit ini. Aku dan temanku masih bisa jalan berdampingan. Sekarang, tubuh kurusku saja masih harus dimiringkan untuk bisa melewatinya.

Keluar dari sela, aku bertemu dengan salah seorang ibu berdaster. Dia teman bergosip Ibu. “Mau beli lontong sayur nih,” katanya setelah kusapa. Ia membawa mangkok, ke arah berlawanan denganku.

Kemudian aku tiba di depan rumah petak yang memiliki desain sama. Ku hampiri rumah dengan pot yang banyak sebagaimana petunjuk Ibu. tidak seperti rumah sebelahnya, rumah ini gelap. Ku ketuk berkali-kali tak kunjung temukan respon. Justru pintu sebelah yang terbuka.

“Udah berangkat dia mah dari sebelum subuh,” ucapnya seolah tahu siapa yang kucari. Mau tak mau ku percaya saja.

Sekembalinya aku ke rumah, Ibu nampak kecewa mengetahui kegagalanku. Kesehatan Ibu belakangan kurang baik. Setelah mengurus BPJS, Ibu memutuskan untuk rutin memeriksakan diri ke dokter. Mulanya di puskesmas, akan tetapi letaknya cukup jauh dari rumah sehingga Ibu memindahkannya faskesnya ke klinik dekat rumah. Permintaannya memang terkabul, hanya saja dokter klinik ini kurang telaten.

Dua bulan pasca pindah faskes, kesehatan Ibu masih belum membaik dan sewaktu-waktu terlihat sangat lemas. Aku menaruh curiga pada dokter klinik yang tidak sungguh-sungguh menjalankan tugasnya. Tiap pemeriksaan tidak pernah sampai 5 menit, setelah itu tebus obat. Amaryl 1 untuk gula darah, amlodiphine 5mg untuk hipertensi, serta bisoprolol untuk jantung. Ku hapal semua obat Ibu karena aku membantu menyiapkannya setelah sarapan bersama.

Lalu setelah melalui rangkaian konsultasi dengan beragam tetangga, Ibu memutuskan untuk minta rujukan ke rumah sakit. Dokter klinik mulanya ragu, tapi kemudian memberikan juga.

Nah, pertama kalinya Ibu periksa di rumah sakit, Ibu baru datang pada pukul 8, hampir bersamaan dengan kedatangan dokter. Ia mendapat nomor antrean tiga digit dan baru empat jam kemudian mendapat kesempatan bertemu dokter. Ibu trauma. “Bisa-bisa yang harusnya cuma sakit biasa, jadi tambah parah karena harus menunggu,” keluh Ibu.

Ibu pun bercerita ke para tetangga. Hingga menemukan solusi untuk menghubungi Ceu Sari. Ya, Ceu’ Sari adalah orang yang sebelum subuh sudah tidak ada di rumah. Tapi aku masih tidak tahu apa fungsi Ceu’ Sari dalam kesehatan Ibu.

“Ceu’ Sari ini bisa ambilin nomor antrean. Jadi Ibu gak perlu menunggu lama lagi,” jelas Ibu.

“Tapi kenapa sebelum subuh sudah berangkat? Memangnya loket pendaftaran buka jam segitu?” tanyaku.

“Buka antrean sih jam 5,” kata Ibu. “Tapi sudah mulai antrean dari jam 3.”

Aku tertegun. Dan lima jam kemudian dokternya baru datang?!

“Kalau di rumah sakit sini harus manusia yang antre.”

“Ha?”

“Kalau antre di rumah sakit yang di depan pom bensin sana sih bisa pakai sendal.”

Aku tertawa sejadinya. Ibu menceritakan tetanggaku yang meninggalkan sendal untuk penanda antrean. Mendengarnya membuatku kembali ke kenangan semasa pesantren ketika sekolah menengah pertama dulu. Meletakan gayung di depan pintu kamar mandi untuk antre.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ibu keluar. Tak lama, Ibu langsung mengambil telepon genggamnya.

“Kamu ke rumah sakit sekarang,” ucap Ibu setelah menutup teleponnya.

“Antre?”

“Bukan. Temui Ceu’ Sari.”

Aku langsung beranjak. Setengah berlari menyusuri gang. Setelah berjalan lumayan jauh, aku baru teringat motor. Ku bodoh-bodohi diriku yang di saat terburu-buru malah memilih jalan kaki. Padahal di saat santai saja, hanya untuk beli pulsa di warung depan gang, pakai motor. Teknologi diciptakan untuk membantu manusia kan?

Setiba di lobi rumah sakit, Ceu Sari langsung menyambutku. Tangannya memegang map yang penuh kertas.

“Surat rujukan sama fotokopi kartu BPJS dan KTP saja. Aslinya kamu bawa balik lagi. Nanti Ceu kasih tau nomor antrean Ibu. Ceu masuk lagi ya, harus antre ke poli anak juga soalnya.”

Aku sampai tak sempat membalas perkataan Ceu Sari yang nampak sibuk. Segera kembali ke rumah.

Anehnya, tak ada niatan dalam tubuhku untuk beristirahat sekalipun aku belum tidur. Aku malah tertarik untuk ikut dengan Ibu. Padahal di hari-hari lain, aku enggan mengantar Ibu ke rumah sakit. Aku penasaran dengan pekerjaan Ceu Sari.

Ceu Sari memberi pesan singkat yang bilang haru tiba di rumah sakit sebelum pukul 10 karena Ibu dapat antrean ke 63. Kami pun ketemu Ceu Sari di depan loket pendaftaran.

“Bulan depan mah lebih pagian lagi, Bu,” pesan Ceu Sari sebelum pamit ke Poli Umum. Ku izin pada Ibu untuk mengikuti Ceu Sari.

“Sehari bisa berapa banyak antrean, Ceu?” tanyaku.

Ceu Sari menunjukan dokumennya. “Dua puluhan lebih deh. Beda-beda polinya,” jawab Ceu Sari. “Bulan depan, Ibu gak perlu minta surat rujukan lagi ke dokter klinik. Surat rujukan itu berlaku dua bulan kok.” aku mengangguk-angguk saja. “Oh iya, besok bawa suratnya ke asisten Ceu Sari, Bu Ida, ya. Ceu Sari mau berangkat umroh.”

Aku tertegun mendengarnya. Calo antrean rumah sakit punya asisten dan hendak berangkat umroh. Subhanallah…

Telepon genggamku berbunyi. Dari Ibu. Segera ku hampiri Ibu yang sudah berada di loket apotek.

“Tebus obat, Bu?” tanyaku. Ibu menggeleng.

“Cuma satu obat yang dicover dari BPJS. Seperti biasa, sisanya bayar.”

Aku paham. Daripada tebus obat di apotek rumah sakit, lebih baik kami tebus di toko obat depan pasar. Harganya bisa sampai setengah dari sini. Aku bahkan mendapat bocoran dari penjualnya, rumah sakit ini kerap mengambil obat dari sana.

Sambil ku rangkul Ibu menuju parkiran, ku berbisik menanyakan upah untuk Ceu Sari. “Ceu Sari sih gak bilang berapanya. Ibu kasih aja dua puluh ribu.”

Tamat

Pada 3 April 2018

Di Berakar Komunikasi, Jalan Cikatomas II, Jakarta Selatan

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.