Spiderman: Across the Spider-verse, Abis Nonton Malah Merasa Bersalah

Latifah Fawwaz
2 min readJul 19, 2023

--

Pernah enggak merasa kagum banget sama sebuah karya, tapi ada rasa sedikit kesal pas tahu butuh waktu cukup lama untuk menunggu lanjutan karya tersebut?

Itu yang saya rasakan setelah menonton Spiderman: Across the Spider-verse. Saya klaim film ini jadi film animasi terkeren yang pernah saya tonton. Nomor duanya adalah film pertamanya. Menyenangkan rasanya karena bisa menonton yang lebih bagus dari yang bagus.

Setelah coba cari tahu, lanjutannya baru akan tayang Maret 2024. Buat orang yang lagi jatuh cinta banget sama film ini, menunggu kurang lebih setahun itu lama loh. Ada kesalnya, menyayangkan, dan khawatir lupa sama jalan ceritanya.

Tapi kemudian seorang teman yang berprofesi sebagai Art Director menyadarkan. Bikin animasi itu susah dan berdarah-darah, apalagi yang bagus!

Wah saya langsung ingat pengalaman terlibat dalam proyek iklan yang menggabungkan shooting dan animasi. Gara-gara itu saya enggak bisa tidur dengan tenang berbulan-bulan. Dengan kapasitas sebagai penulis saja sudah sebeban itu.

Tiba-tiba kepikiran, saya kapitalis banget nih. Di awal saya hampir enggak memikirkan bagaimana perjuangan pekerja animasi. Hanya fokus menyalahkan Sony yang menurut saya bisa kehilangan demand kalau terlalu lama bergerak.

Benar saja, saya lihat berita di twitter, ada 100 animator yang memilih cabut dari proyek animasi Spiderman ini. Alasannya karena lingkungan kerja yang toksik.

Seketika merasa bersalah sih. Bagaimana kita bisa menikmati sebuah karya yang berasal dari proses non-manusiawi? Apa bedanya kita dengan para orang berduit di film Hunger Games?

(Menghela napas)

Sejujurnya saya enggak tahu sih harus berbuat pergerakan apa yang signifikan. Hanya saja terpikir untuk memulai dari diri sendiri untuk menarik tuas rem konsumtif termasuk untuk hiburan. Enggak turut memperlebar lingkungan toksik di industri animasi ini.

Ya siapa tau, kalau penontonnya saja mau menunggu untuk yang terbaik, si kapitalis animasi bisa lebih manusiawi. Tentu yang terbaik bukan cuma hasilnya, tapi juga ‘bayaran’ untuk para animatornya.

Jadi tulisan ini bukan review film.

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.