Why Do You Love Me (2023), Boleh Enggak Sih Menertawakan Difabel?

Latifah Fawwaz
3 min readJul 19, 2023

--

Saya sering tidak menaruh ekspektasi sebelum menonton sebuah film, terutama film Indonesia. Jarang nonton trailer dengan sengaja. Cuma butuh premis buat menentukan akan menonton atau enggak. Film Why Do You Love Me salah satunya.

Premisnya menarik dan belum pernah ditemukan sebelumnya: 3 orang difabel yang ingin merilis keperjakaan di Gang Dolly, Surabaya.

Enggak sangka ternyata film ini tentang road trip!

Ah, saya memang sesuka itu road trip. Dan untuk pertama kalinya saya jatuh hati sama karakter yang dimainkan oleh Jefry Nichol. Bisa-bisanya.

Omong-omong, film ini remake dari film Belgia berjudul Hasta La Vista.

Sebenarnya pemeran orang tua dari tiap karakter tampak kurang menyakinkan. Bapaknya Aryo Bayu, anaknya Adipati. Kayak… harusnya adik kakak enggak si? Di film Love For Sale 2 sih gitu ya.

Ada lagi, ibunya Kinaryosih, anaknya Onad. Kayak… pacaran enggak sih? Hahaha… cuma karakter Jefry yang masih masuk secara umur sama orang tuanya.

Sempet terlintas di pikiran untuk memahami pemikiran casting directornya, apa karena difabel ‘biasanya’ terlihat lebih tua dari umurnya? Ini asumsi banget sih.

Kalau kamu rindu akting ciamik Adipati di film Posesif, mungkin terbayar dengan aktingnya di sini. Jadi orang yang nyebelin banget, marah-marah mulu. Sangat meyakinkan sebagai difabel yang berasal dari keluarga berada, sehingga ada gengsi tidak mau diremehkan orang lain.

Kombo Adipati dan Jefry Nichol ini ternyata memuaskan. Juara aktingnya. Pernah enggak sih kamu ingin film berhenti di satu momen saja karena tau nih akan sedih kalau terlus dilanjutin. Dan itu empati yang saya rasakan pada karakter Danton yang diperankan Jefry. Ada bagian-bagian yang menurut saya bisa dihilangkan atau diganti dengan metafora lain gitu.

Di luar itu, original soundtrack-nya pas banget. Seingat saya ada Bahagia dari GAC, dan ditutup dengan “datang akan pergi…” dari Endang Soekamti. Semua ini bikin filmnya terasa magis dan merinding.

Bercerita tentang difabel, ada candaan-candaan yang rasanya gelap banget buat diketawain. Jadi rasanya tuh kayak, ini lucu banget, tapi enggak apa-apa nih ketawa? Tapi kan kenapa harus merasa tersinggung, kalau candaannya saja berasal dari difabel itu sendiri kan?

Lalu saya membayangkan, apakah ada ruang untuk teman-teman difabel memerankannya? Mungkin sulit, tapi harusnya bisa sih.

Jadi ingat keresahan yang sempat disampaikan oleh Arie Kriting, salah satu komika. Menurut dia, harusnya jika film tentang timur, maka berikanlah pada aktor timur. Ada bukti keberhasilannya di film Laskar Pelangi.

Ada setujunya, ada enggaknya.

Biar bagaimanapun, ini industri. Ada keahlian yang dijual. Seberapa banyak sih modal yang dipunya produser untuk ‘sekolahin’ dulu orang-orang ‘asli’ dari suatu daerah yang akan jadi aktor di film mereka? Menggunakan aktor berpengalaman dan terkenal juga penting buat kualitas serta promo filmnya. Dilema memang.

Harusnya enggak salah ya semisal aktor bukan asli dari daerah asal si karakter, selama si aktor bisa mengejar kemiripan karakter itu sendiri.

Adanya talenta-talenta dari Laskar Pelangi sebenarnya angin segar ya untuk menghadirkan aktor-aktor lokal. Tapi ironisnya (saya menilai dengans angat subjektif), aktor-aktor Laskar Pelangi gagal berkembang sehingga mereka berhenti di film itu saja.

Saya masih belum paham sih ekosistemnya harus seperti apa.

Lagi-lagi bukan review film.

--

--

Latifah Fawwaz

Copywriter dengan latar anak sastra. Suka nonton film Indonesia.